Rabu, 23 November 2011

danau toba

LETUSAN TERDAHSYAT DIDUNIA

SUPERVOLCANO

By : Dian

Letusan Gunung Toba Terdahsyat di Dunia

Gunung Toba adalah gunung api raksasa yaitu gunung aktif dalam kategori sangat besar, diperkirakan meletus terakhir sekitar 74.000 tahun lalu.
Gunung Toba kini menjadi kompleks Danau Toba yang merupakan kaldera dengan Pulau Samosir di tengahnya.

Bukti ilmiah

Pada tahun 1939, geolog Belanda Van Bemmelen melaporkan, Danau Toba, yang panjangnya 100 kilometer dan lebarnya 30 kilometer, dikelilingi oleh batu apung peninggalan dari letusan gunung. Karena itu, Van Bemmelen menyimpulkan, Toba adalah sebuah gunung berapi. Belakangan, beberapa peneliti lain menemukan debu riolit (rhyolite) yang seusia dengan batuan Toba di Malaysia, bahkan juga sejauh 3.000 kilometer ke utara hingga India Tengah.
Beberapa ahli kelautan pun melaporkan telah menemukan jejak-jejak batuan Toba di Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Para peneliti awal, Van Bemmelen juga Aldiss dan Ghazali (1984) telah menduga Toba tercipta lewat sebuah letusan mahadahsyat. Namun peneliti lain, Vestappen (1961), Yokoyama dan Hehanusa (1981), serta Nishimura (1984), menduga kaldera itu tercipta lewat beberapa kali letusan. Peneliti lebih baru, Knight dan sejawatnya (1986) serta Chesner dan Rose (1991), memberikan perkiraan lebih detail: kaldera Toba tercipta lewat tiga letusan raksasa.
Penelitian seputar Toba belum berakhir hingga kini. Jadi, masih banyak misteri di balik raksasa yang sedang tidur itu. Salah satu peneliti Toba angkatan terbaru itu adalah Fauzi dari Indonesia, seismolog pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Sarjana fisika dari Universitas Indonesia lulusan 1985 ini berhasil meraih gelar doktor dari Renssealer Polytechnic Institute, New York, pada 1998, untuk penelitiannya mengenai Toba.

Berada di tiga lempeng tektonik

Letak Gunung Toba (kini: Danau Toba), di Indonesia memang rawan bencana. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia dan Lempeng Pasifik. Sebanyak 80% dari wilayah Indonesia, terletak di lempeng Eurasia, yang meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Banda.
Lempeng benua ini hidup, setiap tahunnya mereka bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng benua selalu jadi sasaran. Lempeng Indo-Australia misalnya menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Atau Lempeng Pasifik yang bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Dari pergeseran itu, muncullah rangkaian gunung, termasuk gunung berapi Toba.
Jika ada tumbukan, lempeng lautan yang mengandung lapisan sedimen menyusup di bawahnya lempeng benua. Proses ini lantas dinamakan subduksi atau penyusupan.
Gunung hasil subduksi, salah satunya Gunung Toba. Meski sekarang tak lagi berbentuk gunung, sisa-sisa kedasahyatan letusannya masih tampak hingga saat ini. Danau Toba merupakan kaldera yang terbentuk akibat meletusnya Gunung Toba sekitar tiga kali yang pertama 840 ribu tahun lalu dan yang terakhir 74.000 tahun lalu. Bagian yang terlempar akibat letusan itu mencapai luas 100 km x 30 km persegi. Daerah yang tersisa kemudian membentuk kaldera. Di tengahnya kemudian muncul Pulau Samosir.

Letusan

Sebelumnya Gunung Toba pernah meletus tiga kali.
  • Letusan pertama terjadi sekitar 800 ribu tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba, meliputi daerah Prapat dan Porsea.
  • Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 ribu tahun lalu. Letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba. Tepatnya di daerah antara Silalahi dengan Haranggaol. Dari dua letusan ini, letusan ketigalah yang paling dashyat.
  • Letusan ketiga 74.000 tahun lalu menghasilkan kaldera, dan menjadi Danau Toba sekarang dengan Pulau Samosir di tengahnya.
Gunung Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.
Yang menarik adalah terjadinya anomali gravitasi di Toba. Menurut hukum gravitasi, antara satu tempat dengan lainnya akan memiliki gaya tarik bumi sama bila mempunyai massa, ketinggian dan kerelatifan yang sama. Jika ada materi yang lain berada di situ dengan massa berbeda, maka gaya tariknya berbeda. Bayangkan gunung meletus. Banyak materi yang keluar, artinya kehilangan massa dan gaya tariknya berkurang. Lalu yang terjadi up-lifting (pengangkatan). Inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Magma yang di bawah itu terus mendesak ke atas, pelan-pelan. Dia sudah tidak punya daya untuk meletus. Gerakan ini berusaha untuk menyesuaikan ke normal gravitasi. Ini terjadi dalam kurun waktu ribuan tahun. Hanya Samosir yang terangkat karena daerah itu yang terlemah. Sementara daerah lainnya merupakan dinding kaldera.
SITUS arkeologi baru yang cukup spektakuler, ditemukan para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba, 74.000 tahun yang lalu.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Pe-traglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi Pers di Oxford, Amerika Serikat tentang adanya bukti kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari Oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan, dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini hanya ditumbuhi sabana (padang rumput). Sementara, tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas inf ternya-ta ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah eruption supervokano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik.
Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3.000 mil.dari sumber letusan.Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga ke Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis.
Meski para ahli masih mencari bentuk fosil manusia Atlantis secara definitif, temyata populasi manusia yang hadir di India se-belum 74.000 tahun lalu, atau sekitar 15.000 tahun lebih awal berhasil ditemukan dalam beberapa bukti genetik. Wilayah penelitian samp/ing-nya diambil dalam skala luas, meliputi beberapa negara dengan skala penyebaran 12.000 mil dari titik letusan super gunung berapi Toba.
Penelitian ini untuk mencari bukti, sampai sejauh mana manusia purba terhindar dari kepunahan pada saat letusan su-pervolcano Toba terjadi," kata Dr. Michael Petraglia, senior Research Fellow di School of Archaeology Universitas Oxford.
Dari bukti lapangan diketahui alat-alat Palaeolithic tengah, ditemukan tepat sebelum dan sesudah letusan Toba. "Hal ini menunjukkan, orang-orang yang selamat dari letusan berasal dari populasi ras yang sama," kata Dr. Petraglia. Para peneliti setuju dengan bukti lapangan bahwa nenek moyang manusia lainnya, seperti Neanderthal di Eropa dan makhluk berotak kecil Hobbit di Asia Tenggara, mampu bertahan hidup setelah Toba meletus. Beberapa ahli berspekulasi bahwa letusan gunung berapi Toba itu sangat dahsyat, hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.
Penelitian di India menunjukkan, sebuah mosaik ekologis tampak begitu jelas. Ada beberapa daerah yang relatif cepat, mengalami recovery setelah peristiwa vulkanik. Tetapi ada ribuan hektare lahan yang tidak bisa ditumbuhi tanaman keras hingga saat ini, yang hanya bisa ditumbuhi oleh jenis rerumputan gersang.
Tim tidak menemukan banyak bukti tulang belulang di padang rumput itu, tetapi justru penemuan terbesar terdapat dalam kompleks gua "Bil-lasurgam Kurnool", di Provinsi Andhara Pradesh. Namun yang menjadi keheranan para ahli, di padang rumput itu ditemukan bukti bahwa tanahnya mengandung debu gunung berapi bercampur ra-dioaktif.
Debu radio aktif bercampur dengan debu gunung berapi itu, kini menjadi sebuah teka-teki yang cukup pelik. Apakah abu letusan itu mengandung radioaktif, atau memang ada letusan lain dari sebuah senjata yang mengandung radioaktif? Para peneliti juga menemukan sejumlah bukti lain yang mereka yakini deposit (timbunan fosil) berbagai kehidupan dari setidaknya 100.000 tahun yang lalu.
Deposit ini mengandung kekayaan berbagai jenis tulang hewan, manusia, sapi liar, dan berbagai karnivora dan monyet purba. Para ahli juga mengidentifikasi, sejumlah tanaman yang diduga jadi bahan pokok makanan mereka. Gua-gua itu menghasilkan informasi penting, tentang upaya menyelamatkan diri dari letusan super gunung berapi Toba.
Berdasarkan studi dan bukti baru hasil analisis, carbon radio isotop yang tak terbantahkan dari para ahli menyatakan letusan super gunung berapi Toba di Pulau Sumatra terjadi sekitar 73.000 tahun yang lalu. Letusan itu menyemburkan debu sekitar 800 kilometer kubik abu ke atmosfer.
Meninggalkan kawah (sekarang danau vulkanik terbesar di dunia), dengan panjang 100 kilometer dan lebar 35 kilometer. Penyebaran abu dari letusan ini telah ditemukan di India, Samudera Hindia, Teluk Bengala, dan Laut Cina Selatan bahkan terjebak di lapisan es Greenland, Kutub Utara.
Kata Stanley Ambrose , profesor antropologi Universitas Illinois, dan seorang kepala peneliti Studi-studi Kasus Baru, Profesor Martin AJ. Williams, dari University of Adelaide, Australia, letusan gunung berbelerang aerosol tersebut, sempat menutup radiasi matahari selama enam tahun.
Jadi dunia saat itu, benar-benar gelap gulita, yang diduga berdampak pada sebagian dari mahluk hidup yang mati karena tidak ada sinar matahari," ujarnya. Sebuah Instant Ice Age yang terdapat dalam inti es yang diambil di Greenland mengungkapkan, dampak letusan berlangsung sekitar 1.800 tahun hingga kembali ke seperti sekarang ini.
Selama zaman es instan ini, suhu turun hingga 16 derajat Celcius (28 derajat Fahrenheit). Begitu dingin-nya udara.di beberapa daerah Indonesia juga tertutup salju. Prof. Williams menemukan lapisan abu Toba pertama kali di pusat India, pada 1980. Pada tim investigasi ini, ia juga bertidak sebagai pemimpin dan penanggungjawab penelitian.
Efek iklim Toba telah menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun, seperti dampaknya terhadap populasi manusia dan ekosistem. Pada tahun 1998, Ambrose mengusulkan dalam Journal of Human Evolution bahwa efek dari letusan Toba dan Ice Age menjelaskan terjadinya penurunan drastis pada populasi manusia.
Terutama pengaruh genetikanya, terlihat antara 50.000 dan 100.000 tahun kemudian. Kurangnya keragaman genetik di antara manusia yang hidup hari ini, menjadi suatu bukti bahwa selama periode itu ada sejumlah ras manusia yang punah.
Selain itu, di muka bumi ini diduga telah terjadi kekeringan yang cukup panjang, hingga menunjukkan adanya penurunan suhu ekstrem," kata Ambrose. Analisis isotop karbon pada sejumlah temuan, menunjukkan bahwa hutan tertutup di India tengah. Setelah letusan terjadi, muncul rumput sebagai tanaman pionir. Setidaknya mulai merambah, selama l.ooo tahun setelah letusan kemudian menjadi hutan. "Ini adalah bukti jelas, bahwa Toba juga menyebabkan deforestasi di beberapa daerah tropis untuk waktu yang lama," kata Ambrose.
Hasil penelitian lainnya, akan diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience 25 Mei 2010. Dari sejumlah letusan gunung berapi di dunia, temyata letusan Gunung Tambora di Indonesia pada 1815 tercatat sebagai letusan terkuat kedua setelah Toba.
Dalam letusan itu, Tambora melemparkan abu volcano hingga sejauh 70 km abunya ke udara.Gunung ini, menurut para ahli, adalah satu-satunya jetusan supervolcano yang dikenal setelah letusan super gunung berapi Toba dalam sejarah modern. Menurut ukuran kekuatan, letusan tersebut 10 kali lebih kuat dari letusan Krakatau, dan 100 kali lebih kuat daripada Vesuvius atau Gunung St. Helens.
Dedi Riskomar, wartawan senior.
Sumber : http://bataviase.co.id/node/153675

Danau Toba itu Sebuah Erruption Supervolcano Purba


Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu. Debu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama 1 minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan.
Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.
Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi pers di Oxford, Amerika Serikat bahwa telah ditemukan situs arkeologi baru yang cukup spektakuler oleh para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba pada 74.000 tahun yang lalu, dan bukti tentang adanya kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.
Selama tujuh tahun, para ahli dari oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini ternyata hanya sabana (padang rumput). Sementara tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.
Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah erruption supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3000 mil, dari sumber letusan. Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti-bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis.

Sumber : http://indonesian-sky.com/bumi-antariksa/danau-toba-itu-sebuah-erruption-supervolcano-purba/

SUPERVOLCANO

Denny R. Tambunan
SERANGKAIAN musibah gempa belakangan ini membuat Dr. Surono, 50 tahun,  tertimpa banyak urusan. Kepala Sub-Direktorat Mitigasi Bencana di  Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi itu harus memeriksa  berkas-berkas laporan mutakhir aktivitas vulkanik sejumlah gunung  berapi. Mejanya penuh dengan tumpukan map.  Ruang kerjanya pun makin sering kedatangan tamu. Ada mahasiswa, pejabat  negara, wartawan, hingga beberapa pengurus Harley Davidson Club. Tamu  yang terakhir ini rupanya akan menggelar acara berskala internasional,  22-24 Mei, di pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Sejumlah tamu  asing berniat hadir.  Namun, sebelum datang ke Pangandaran, mereka meminta syarat. Harus ada  keterangan "bebas ancaman gempa dan tsunami" yang digaransi kantor  Surono. "Lama-lama orang mau hajatan nikah minta jaminan bebas tsunami  dan gempa ke Geologi," kata Surono sambil tertawa.  Pekan ini, Surono juga mengemban tugas khusus. Ia akan memimpin sebuah  tim geolog berkunjung ke Pulau Samosir, Sumatera Utara. Bukan untuk  berwisata di danau luas yang terletak di ketinggian hampir 1.000 meter  di atas permukaan laut itu. "Kami akan meneliti sejumlah aspek  vulkanologi dan sekaligus menenangkan masyarakat di sana," katanya.  Masyarakat di sekitar Toba, juga mereka yang memiliki kedekatan dengan  kawasan cantik itu, merasa resah atas kabar yang menyebutkan bahwa danau  besar itu kini dalam proses kembali menjadi kawah raksasa yang siap  memuntahkan lahar. Bencana besar akan terjadi. Musibah dahsyat tsunami  yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan sekitarnya, gempa di Nias dan  Mentawai, serta letupan Gunung Tanlang, Solok, Sumatera Barat,  disebut-sebut sebagai pertanda bahwa kawah Toba siap menggeliat.  Yang disebut-sebut melansir isyarat bahaya itu adalah Prof. Ray A.F.  Cas, pakar gunung berapi dari Department of Earth Sciences, Monash  University, Australia, lewat koran The Australian edisi 1 April silam.  Dalam wawancara itu, Prof. Cas mengingatkan adanya hubungan sebab akibat  antara gempa tektonik, seperti yang telah meluluhlantakkan Aceh lewat  tsunaminya dan Nias, dengan aktivitas magma di perut gunung. ''Gempa itu  merangsang deposit magma di perut bumi dan bisa menyebabkan letusan  vulkanik,'' kata Prof. Cas.  Pakar dari Melbourne itu juga menyebut Toba sebagai salah satu  supervolcano di dunia. Jelas, supervolcano merujuk pada kepundan luas  yang akan menyemburkan lava dalam jumlah sangat besar. Letusan  supervolcano adalah bencana besar bagi seantero bumi. Jika supervolcano  Toba meledak, bencana yang ditimbulkan bisa lebih dari 100 kali letusan  Krakatau.  Perihal potensi Toba sebagai supervolcano itu sendiri sudah ada dalam  tinjauan Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological  University. Mengacu ke letusan Toba, 73.000 tahun silam, kedua pakar  gunung api itu memperkirakan, bila Toba bangkit murka, hampir seluruh  kawasan Sumatera Utara akan tergenang lahar panas setebal 50 meter. Suhu  lahar itu 750 derajat celsius. Material padat yang dimuntahkan sebanyak  2.800 kilometer kubik --cukup untuk menimbun Jakarta setinggi 4.500  meter! Studi Rose dan Chesner pada 1991 itu memberikan bumbu-bumbu seram  soal bahaya Danau Toba.  Apa pun, analisis Prof. Cas itu cukup mengagetkan. ''Waktu membaca  kondisi itu di koran, wah, saya khawatir juga. Beberapa teman dari sana  juga bertanya-tanya," kata Dr. Djamester Simarmata, 60 tahun. Dosen  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini memang kelahiran Desa  Sihusapi, Samosir. "Baru saja sebulan lalu ziarah di sana," katanya.  Djamester lalu mengontak koleganya, Dr. Franck Lavigne, seorang pakar  geologi di Universitas Sorbonne, Paris. Lavigne membenarkan bahwa  runtutan gempa itu bisa saja membuat kandungan magma di perut bumi  terdesak dan bergolak. "Saya tak puas dengan jawabannya," kata  Djamester. Namun, setelah membaca beberapa referensi, Djamester paham  bahwa kabar itu ada benarnya --setidaknya kalau mengacu pada erupsi  letusan luar biasa di Toba, puluhan ribu tahun silam.  Danau Toba nan indah itu menyimpan sejarah vulkanik yang panjang. Ia  tercipta dari letusan mahadahsyat "Gunung Toba" purba, sekitar 73.000  tahun lalu. Kaldera yang terbentuk dari letusan itu lantas membentuk  Danau Toba, yang kini luasnya 3.000 kilometer persegi. Bagi para ahli  bumi, Gunung Toba purba merupakan salah satu dari segelintir gunung  berapi yang ledakannya mampu menyentak seluruh isi bumi. Bencana yang  ditimbulkan disebut-sebut ikut memberi pengaruh pada proses seleksi alam  yang menghasilkan makhluk hidup yang ada saat ini. Toba termasuk  golongan supervolcano yang juga bisa terusik oleh gempa bumi.  Nah, ketika perut bumi kembali berguncang, Cas menganggap sudah waktunya  untuk khawatir sang gunung api super itu kembali menyalak. Buktinya,  sejumlah gunung api terbatuk-batuk menyusul gempa tsunami Aceh, 26  Desember lalu. Mulut Gunung Talang (2.572 meter) di Kabupaten Solok, 40  kilometer arah timur kota Padang, hingga pekan lalu masih berasap.  Sebelumnya petugas melihat mulut Gabuo Gadang, nama kepundan bagian  utara, menyemburkan api dan asap tebal ke udara setinggi 1.000 meter.  Bahkan lava yang berguguran sempat menimbulkan kebakaran kecil di hutan.  Kepala Bidang Seismologi Teknik dan Tsunami, Badan Meteorologi dan  Geofisika (BMG), Dr. Fauzi, juga melihat, gempa 26 Desember lalu membuat  Gunung Leuser di Aceh terpicu aktif. "Gempa itu dalam tingkat tertentu  membuat letusan kecil di Gunung Leuser," katanya tentang gunung di Aceh  bagian timur itu.  Menurut Fauzi, letupan Gunung Talang juga terkait dengan aktivitas  seismik di lepas pantai Sumatera. "Dari segi tektonis, memang ada kaitan  antara aktivitas tektonik di Lautan Hindia dan aktivitas vulkanis di  Sumatera," ujarnya.  Gempa beruntun itu tidak lain akibat pergerakan dan baku impit kerak  bumi, yang rata-rata melaju sekitar 70 milimeter (7 cm) per tahun.  Gerakannya bisa naik, ke bawah, atau sejajar. Lempeng Indo-Australia,  misalnya, terus menghunjam ke bawah (subduksi) terhadap lempeng Euroasia  tempat pulau-pulau Indonesia duduk. Meski cuma maju sepanjang jari  kelingking, energi yang terlibat sangat besar, karena yang bertumbuk dan  bergesek adalah massa lempengan bumi yang amat besar.  Hunjaman pada kedalaman 100-150 kilometer itu menghasilkan panas yang  tinggi, hingga melelehkan sedimen yang ada. Terbentuklah magma.  "Kedalaman itu merupakan sumber magma yang mencair," kata Fauzi. Semakin  banyak sedimen yang masuk, makin banyak sumber magmanya. "Itu yang jadi  ukuran gunung nantinya," ujar Fauzi. Karena lempeng terus mendesak,  muncul tekanan magma yang luar biasa, yang kemudian mencari jalan keluar  lewat mulut gunung berapi.  Selain lewat proses subduksi, menurut Fauzi, gunung berapi juga  dihasilkan lewat proses yang disebut hotspot. ''Gelembung panas dari  inti bumi naik, dan itu menjadi hotspot," katanya. "Seperti dijahit,  gelembung itu memberikan jejak pergerakan lempeng tektonik," ia  menambahkan. Magma itu pun kini sedang bergolak di sepanjang garis  subduksi di sebelah selatan Indonesia.  Hasilnya, selain Leuser dan Talang, geliat gunung api lain juga terlihat  selama dua pekan terakhir ini. Direktorat Vulkanologi melaporkan  peningkatan frekuensi gempa vulkanik sejak 12 April lalu. Bahkan, sehari  kemudian, status Anak Krakatau meningkat dari aktif normal menjadi  waspada. Sebaliknya, Direktorat Vulkanologi melaporkan, status Gunung  Tangkuban Parahu menurun menjadi waspada setelah "siaga III" selama  hampir dua pekan.  Apakah rentetan gempa tadi juga bisa membuat Gunung Toba purba yang  sudah tidur lelap puluhan ribu tahun bangkit kembali? Fauzi pun percaya,  rentetan gempa itu sedikit banyak mempengaruhi kandungan magma di perut  Toba. Tapi tak cukup kuat.  "Kami memang menemukan aktivitas vulkanik di sana. Kecil saja. Magmanya  memang masih ada," tuturnya. Toba akan meletus? "Tidak. Jangan salah.  Letusan mungkin bisa terjadi, tapi ratusan atau ribuan tahun lagi,''  kata Fauzi, yang mengambil Toba sebagai tesis doktoralnya.  Tentang kekhawatiran Cas, Fauzi menampiknya. ''Butuh himpunan magma  besar untuk menjadi letusan," katanya. Bahkan, seperti juga Surono, ia  menyoal kredibilitas Prof. Cas sebagai ilmuwan. "Siapa sih Prof. Ray Cas  itu? Saya tak pernah dengar dalam pertemuan internasional," kata Surono.  Surono mengaku sudah membongkar catatan arsip BMG terhadap kawasan Danau  Toba. "Selama ini, tak ada tanda-tanda aktivitas vulkanik di sana,"  katanya. Direktorat Vulkanologi bahkan merasa perlu melansir siaran  pers, 5 April lalu, untuk menanggapi komentar Cas.  Pernyataan yang diteken Direktur Ir. Yousana O.P. Siagian itu menekankan  bahwa tidak ada aktivitas vulkanik di Toba. "Hanya ada sedikit retakan  vulkanik di bagian ujung selatan Pulau Samosir." Tak ada tanda-tanda  bakal terjadi ledakan atau letusan gunung berapi dalam waktu dekat ini.  Bahkan, menurut Fauzi, air Danau Toba bisa berfungsi mengurangi  aktivitas Sesar Sumatera atau Sesar Semangko yang terletak jauh di dalam  tanah, 10 kilometer sebelah barat danau. "Air danau membuat Sesar  Sumatera aseismik, tak bergetar," katanya. Air danau sedikit banyak  membuat tanah di kawasan itu menjadi plastis, tidak kaku. "Maka, lapisan  di sekitar Toba tidak akan mudah patah," tutur Fauzi.  Belakangan, kepada Gatra, Prof. Cas meluruskan pernyataannya. Ia mengaku  hanya menjawab pertanyaan wartawan The Australian, tanpa maksud  spekulasi. Apakah gempa bumi beruntun yang terjadi itu dapat menyebabkan  ledakan di Danau Toba? "Saya jawab, akan terjadi bila volcano siap untuk  meledak. Saat ini, memang tak ada tanda-tanda meledak. Tapi beberapa  media menyebutkan, saya memprediksi akan terjadi ledakan dalam waktu  dekat," katanya.  Lepas dari apakah Gunung Toba akan meledak atau tidak, para pakar  sepakat bahwa Gunung Toba purba adalah supervolcano dahsyat yang pernah  ada di bumi. Kekuatan letusan Gunung Toba dikalkulasi bisa mencapai VEI  (Volcanic Explosivity Index) 8. Bobot ini diberikan bagi supervolcano  yang mampu memuntahkan lahar panas dan bahan vulkanik lainnya di atas  1.000 kilometer kubik.  Erupsi sebesar itu sanggup memusnahkan segala bentuk kehidupan di  sekelilingnya. Kalaupun tidak terkena lahar, selimut abunya dapat  menutup satu benua, setelah sebelumnya mengeruhkan atmosfer dalam waktu  cukup panjang. Letusan VEI 8 umumnya selalu menciptakan kaldera yang  kelak menjadi danau. Kaldera terluas yang ada di muka bumi hingga kini  apa lagi kalau bukan Danau Toba.  Kajian ilmiah tertua tentang Gunung Toba dilakukan geolog Belanda, Van  Bemmelen (1939). Ia melaporkan bahwa Toba dikelilingi beberapa lapisan  debu dan batuan vulkanik. Penelitian lebih lengkap dikemukakan Bill Rose  dan Craig Chesner dari Michigan Technological University (1991). Mereka  mengatakan, Gunung Toba tak cuma sekali meletus. "Setidaknya meletus  tiga kali, yakni sekitar 800.000 tahun lalu, 500.000 tahun lalu, dan  terakhir 73.000 tahun lalu," tulis Chesner dalam laporannya. Endapan  vulkaniknya menyebar luas (lihat gambar). Kedua letusan pertama  berkekuatan hingga VEI 6. Letusan terakhirlah yang paling dahsyat,  mencapai VEI 8.  Ledakan Gunung Toba ketika itu, menurut penelitian ahli geologi Acharyya  S.A. dan Basu P.K. (1993), menyebarkan abu vulkanik sampai Malaysia  dengan ketebalan mencapai 9 meter. Bahkan abu Toba itu dijumpai di  India, yang berjarak 3.000 kilometer jauhnya, dengan ketebalan mencapai  3-6 meter!  Berdasarkan data-data vulkanik yang ada, Chesner mengalkulasi,  setidaknya jumlah massa muntahan Toba mencapai 2.800 kilometer kubik.  "Sekitar 800 kilometer kubik lainnya berupa lontaran batu pijar yang  menghancurkan apa saja yang ada di depannya," tulis Chesner.  Jika dibandingkan dengan letusan Krakatau pada 1883 yang melegenda, Toba  jelas menampakkan keperkasaannya. Menurut kalkulasi Chesner dkk, letusan  Krakatau hanya melontarkan material 21 kilometer kubik. Padahal, letusan  Krakatau telah menyapu kehidupan di pesisir Jawa Barat dan mempengaruhi  cuaca dunia.  Material padat yang disemburkan Toba, menurut Chesner, menggenangi  daerah seluas 20.000 kilometer persegi. Bayangkan bagaimana teror lahar  panas yang disebar Toba. Lahar panasnya mencapai Medan setelah terlebih  dulu menyapu bersih Pematangsiantar, dan hampir melahap Padangsidempuan  di selatan.  Letusan seperti itu, menurut Rose, bertahan hingga dua pekan lamanya.  Namun akibat yang ditimbulkannya tentu lebih dahsyat. "Sangat sedikit  flora, fauna, dan manusia di kawasan Indonesia yang bertahan hidup,"  tulis Chesner.  Demikian besarnya letusan Toba, sejumlah ilmuwan geologi dan  paleontologi yakin, ledakan itu turut mempengaruhi alur evolusi manusia.  Betapa tidak. Akibat luas dan tebalnya abu letusan, ujung-ujungnya  mengakibatkan suhu dunia turun sebesar 3 hingga 3,5 derajat celsius  beberapa tahun lamanya. Beberapa ilmuwan melihat kemungkinan Toba memicu  kejadian zaman es di bumi.  Akibatnya, sangat sedikit makhluk hidup yang bertahan. Itu termasuk  berbagai puak manusia purba yang tersebar di Afrika, Cina, dan Asia  Tenggara. Dalam proses seleksi alam inilah, menurut antropolog Stanley  H. Ambrose dari University of Illinois, terjadi pengaruh pada alur  evolusi manusia. Itulah yang dikenal sebagai teori Katastropi Toba.  Danau Toba yang permai memang menyimpan misteri yang dahsyat.  Nur Hidayat, Alexander Wibisono, Fachrul Rasyid HF (Padang), Sulhan  Safi'i (Bandung), dan Ida Palaloi (Sydney) [Laporan Utama, Gatra Nomor 24 Beredar Senin, 25 April 2005] 
Sumber : http://www.mail-archive.com/smandu93@yahoogroups.com/msg00087.html

FOTO: Jejak Letusan Gunung Toba Bidikan NASA
Pusuk Buhit di Toba kini jadi salah satu gunung yang diawasi ketat pemerintah.
Selasa, 8 Maret 2011, 10:37 WIB
VIVAnews -- Sekitar 70.000 tahun yang lalu, sebuah megaletusan gunung berapi mengguncang Bumi. Letusan itu diyakini sebagai yang terbesar dalam kurun waktu 2 juta tahun terakhir.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa AS, NASA, dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari Kaldera Toba di Sumatera Utara. Aliran piroklastik -- awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu -- mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.

Di Pulau Samosir, tebal lapisan abu bahkan mencapai 600 meter. Abu Toba juga menyebar ke seluruh dunia. Di India misalnya, abu ketebalan abu sampai 6 meter.

Paska letusan, Gunung Toba kolaps, meninggalkan kaldera moden yang dipenuhi air -- menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus. Gunung Pusuk Buhit di dekat danau itu juga terbentuk pasca letusan.

Kini, melihat venetasi tropis subur yang memenuhi area tersebut, sulit dibayangkan dampak letusan gunung yang menghancurkan apapun, termasuk populasi manusia.

Padahal, kala itu, sangat sedikit makhluk bertahan hidup di bagian yang luas di Indonesia. Letusan Toba menyababkan 'musim dingin vulkanik' selama beberapa tahun, menimbulkan pendinginan global, dan mengakibatkan konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan di seluruh dunia.

Foto Kaldera Toba diambil oleh instrumenAdvanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) yang terpasang di Satelit Terra NASA pada tanggal 28 Januari 2006. Gambar dari dua sudut disatukan untuk menggambarkan keseluruhan area.

Kini Gunung Pusuk Buhit di Toba menjadi salah satu dari tiga gunung yang dipantau ketat pemerintah. Dua lainnya adalah Gunung Tambora dan Anak Krakatau.

Bagaimana hasil pantauan sementara? "Sampai sekarang ini, kalau Anak Krakatau berstatus waspada, sedang meletus. Yang lain dalam kondisi normal," ungkap Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono saat dihubungi VIVAnews, Selasa 8 Maret 2011.

Pusuk Buhit tidak meninggalkan catatan letusan sejak tahun 1400. Aktifivas Pusuk Buhit saat ini lebih banyak mengeluarkan air panas.

(Foto: Kaldera Toba bidikan NASA)


Toba Si Super Volcano

Jika melihat Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengahnya itu, siapa yang menyangka bahwa keindahan itu dihasilkan dari letusan Gunung Toba ribuan tahun yang lalu?
Diperkirakan telah 74 ribu tahun berlalu sejak Gunung Toba terakhir meletus, menimbulkan malapetaka dahsyat dan meledakkan badannya sehingga menciptakan kaldera sepanjang 100 kilometer dengan lebar 30 kilometer.
Adalah Reinout Willem van Bemmelen, geolog Belanda yang pertama kali mencetuskan teori letusan itu saat melakukan penelitian di Danau Toba pada 1939. Ia terkejut menemukan fakta bahwa Danau Toba dikelilingi material batu apung yang ditinggalkan oleh letusan gunung.
Dalam penelitiannya selama bertahun-tahun, Van Bemmelen menemukan lapisan ignimbrite di seluruh permukaan batu danau. Lapisan tersebut berupa batuan vulkanik berbentuk debu dan material vulkanik lain yang mengandung senyawa feldspar-kuarsa. Senyawa ini hanya dihasilkan oleh gunung api.
TOBA. JPG
Teori Van Bemmelen semula kontroversial dan amat sulit dipercaya. Namun, temuannya merangsang penelitian lebih lanjut para geolog di seluruh dunia. Penelitian diarahkan pada debu riolit dan batuan apung.
Hasilnya menakjubkan: ditemukan material halus dengan komposisi menyerupai granit itu pada material sedimen yang diambil dari dasar Teluk Benggala. Menyusul kemudian ditemukannya debu riolit yang seusia dengan batuan Toba, terletak jauh di Malaysia dan India.
Perbandingan Besaran Magma Toba dan gunung lainnya
Teori Lempeng Tektonik
Danau Toba yang semula berupa gunung api, bersesuaian dengan teori mengenai lempeng tektonik dunia. Tiga lempeng tektonik bertemu di wilayah Indonesia dan telah dimengerti potensi bencananya. Tiga lempeng itu adalah lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik.
Lempeng-lempeng tersebut terus bergerak sepanjang waktu dengan kecepatan yang tidak terdeteksi mata kasat. Lempeng Indo-Australia mendesak lempeng Eurasia dengan kecepatan 7 sentimeter per tahun dengan gerakan konstan. Sedangkan lempeng Pasifik mendesak lempeng Eurasia secara relatif, mencapai kecepatan 11 sentimeter per tahun.
Tumbukan lempeng tersebut menimbulkan fenomena subduksi, atau penyusupan lapisan sedimen ke bawah lempeng benua, dan memunculkan rangkaian gunung api, membentuk cincin dengan potensi ledakan dahsyat dan nyaris tidak terprediksi. Gunung Toba adalah salah satu bentuk reaksi subduksi.
Raksasa Supervolcano
Gunung Toba dikelompokkan ke dalam gunung api jenis Supervolcano. Jenis ini sangat jarang ditemukan di dunia. Supervolcano memiliki kantung magma yang sangat besar dan luas, sehingga letusannya menghasilkan kaldera luas pula.
Penelitian ilmiah tentang Gunung Toba terus berlangsung hingga saat ini, untuk menggambarkan dengan jelas mengenai raksasa mengerikan yang tengah tertidur pulas di tengah Pulau Sumatra itu.
Jika sebelumnya hanya disebutkan sebuah teori ledakan dahsyat pada 74 ributahun silam, penelitian terbaru mengetengahkan kemungkinan berdasarkan fakta-fakta geologis bahwa Gunung Toba pernah beberapa kali meletus, sedikitnya tiga kali.
Ledakan pertama diperkirakan berlangsung 840 ribu tahun silam, dan ledakan terakhir seperti disebutkan di atas. Ledakan terakhir adalah yang paling dahsyat bukan saja melontarkan seluruh badan gunung ke udara, bahkan menciptakan kaldera luas dan menjadi danau dengan sisa sedikit pulau yang mencuat di tengahnya, itulah Pulau Samosir.
Letusan Megakolosal
Pada letusan terakhirnya, diperkirakan Gunung Toba meletus selama 9-14 hari berturut-turut. Material vulkanik yang dimuntahkan mencapai 2.800 km kubik, termasuk debu vulkanik beracun dengan tingkat sangat asam dan berberlerang sangat tinggi.
Material vulkanik terlontar menyobek atmosfer hingga ketinggian 37 kilometer. Lalu, menyebar ke seluruh penjuru dan mengakibatkan kegelapan total selama beminggu-minggu. Bahkan, lapisan debu yang tersimpan di awan menyebabkan dunia remang-remang selama hampir 10 tahun karena sinar matahari tidak sempurna mencapai bumi.
Malapetaka yang ditimbulkan nyaris tak terbayangkan. Kehidupan di sekitar Toba nyaris musnah. Manusia dan binatang tak mampu bertahan dari gempuran lava. Tumbuh-tumbuhan tak mampu berfotosintesis karena matahari menghilang dari langit. Suhu bumi menyusut 1-5⁰ C selama beberapa tahun.
Letusan itu mengakibatkan perubahan iklim global. Suhu bumi menurun drastis dan dunia menggigil mengakibatkan kematian yang tak terbayangkan. Ekosistem di bumi pun berubah. Belerang asam meracuni air tawar dan memusnahkan padang rumput. Populasi manusia berkurang drastis.
Toba Sekarang

Raksasa Toba rupanya hanya bangun sesaat dan kemudian kembali ke tidurnya yang lelap. Gunung api itu tidak mati. Masih ada jejak-jejak kehidupannya yang dideteksi dari titik mata air panas di kawasan Pusukbukit, di bagian barat Danau Toba.
Pusukbukit diyakini merupakan bagian dari Gunung Toba. Bentuknya serupa kerucut kecil vulkanik, dan mendapatkan magma dari dapur magma yang terbenam 50 km di bawah permukaan tanah.
Berdasarkan penelitian, Pulau Samosir mengalami kenaikan gradual dengan munculnya lapisan-lapisan sedimen. Kenaikan ini memberi indikasi adanya proses pengisian magma dari dapur magma sehingga mengangkat Pulau Samosir secara perlahan-lahan.
Jadi, apakah Gunung Toba akan bangun kembali? Sangat mungkin! Tapi, melihat prosesnya, hal itu baru akan terjadi dalam waktu yang sangat lama. Para geolog memperkirakan letusan Toba baru akan terjadi sekitar 400 ribu – 600 ribu tahun lagi. Memang tak perlu dikhawatirkan di masa sekarang, tapi setidaknya harus tetap waspada. Secara teoritis Toba juga merupakan gunung yang dapat meletus akibat letusan gunung lainnya seperti gunung Talang di Sumbar
Besaran skala exsplosive Toba
Toba dibandingkan dengan Yellowstone di Amerika Utara
Yellowstone USA
Danau toba adalah danau terbesar di Indonesia yang terletak di Propinsi Sumatra Utara yang berjarak 176 km ke barat dari ibukota propinsi ini yaitu Medan. Danau Toba dapat dicapai dengan kendaraan roda empat dari Medan dengan jarak tempuh sekitar tiga sampai empat jam. Dengan pesawat menuju kota Medan hanya memakan waktu 40 menit dari Singapura dan 2 jam dari Jakarta, ibukota Indonesia.
Sebagai danau hasil volcano tektonik terbesar di dunia, dengan panjang danau 87 km dari baratdaya ke tenggara dan lebar 27 km, lokasi ketinggian 904 meter di atas permukaan laut dan kedalaman maksimal 505 meter, danau ini menjadi salah satu aset pariwisata yang penting bagi Indonesia. Keindahan alam Danau Toba telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Perairan danau yang biru, penduduk yang sangat ramah dan budaya Batak yang sangat mempesona, menarik wisatawan dari seluruh dunia dengan tujuan menikmati pemandangan Danau. Pada bagian tengah danau terdapat pulau indah yang dikenal dengan Samosir.
Berkeliling dari tepi danau hingga pulau Samosir adalah suatu petualangan agung dan sangat mengesankan bagi para pengunjung. Danau Toba meliputi luasan daerah 3,658 km2, dengan luas permukaan danau 1,103 km2. Sisa dari luasan area tersebut sekitar 43% merupakan bukit-bukit dan 30% bergunung-gunung, dengan puncak tertinggi 2,000 m di atas permukaan laut Lingkungan biota (flora dan fauna) yang menarik, suhu udara yang dingin dan lingkungan yang menyegarkan, udara bersih, lahan yang subur menjadikan tempat ini sebagai tempat ideal untuk tempat tinggal manusia
Tidak heran berabad-abad yang lalu nenek moyang dari Suku Batak memilihnya sebagai lokasi tempat tinggal permanen mereka. Di tempat inilah keturunan mereka berkembang menjadi lima kelompok kesukuan Batak, yakni dikenal dengan Angkola-Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun dan Toba. Pulau Samosir dan tepi danau Toba menjadi lokasi perkembangan dari budaya Batak asli, yang mengandung budaya yang tinggi dari nilai sejarah dan peninggalannya, budaya dan seninya. Sesungguhnya, budaya Batak masih hidup dan dapat disaksikan di sini, yang masih terpelihara dalam format aslinya.
Posisi geografis yang unik juga terlihat karakter sumber mata pencahariannya yang penting bagi pengembangan ekonomi, yang sebagian besar diperoleh dari perairan yang bersih, sumber daya yang berlimpah-limpah dan hutan hujan tropis yang lebat. Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km, dengan beda tinggi berkisar antara 100-1,000 m di dalam peta topografi Sumatra Utara. Puncak morfologi ini biasanya disebut Batak Tumor yang sejajar dengan arah memanjang Pulau Sumatra.
Badan air Danau Toba dengan luas 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam danau mempunyai luas daratan 647 km2 dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil dengan luas area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling danau 294 km. Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian yang berkisar antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada garis lintang dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT’; 2040′ LS.
Batas perairan Danau Toba meliputi suatu area seluas 3,704 km2 yang terbagi ke dalam lima Kabupaten, yaitu. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi dan Karo. Di wilayah Danau Toba, terdapat suatu area untuk tujuan konservasi yang berfungsi sebagai resapan air, pengendalian polusi udara, pencegahan erosi lahan dan stabilisasi lahan.
Kabupaten Toba Samosir yang terdiri dari duabelas kecamatan merupakan daerah paling besar dari seluruh batas perairan (64%), yang diikuti oleh Kabupaten Tapanuli Utara empat kecamatan (21%), lima kecamatan di Kabupaten Simalungun (10%), Kabupaten Karo satu kecamatan (3%) dan satu kecamatan di Kabupaten Dairi (2%), (gambar 1).
Pangururan, Palipi, Onanrunggu, Onanrunggu Timur, Lumbanjulu, Porsea, Silaen, Laguboti dan Balige di Kabupaten Toba Samosir; 2)Silimakuta, Purba, Dolok Pardamean, Sidamanik dan Girsang Sipanganbolon di Kabupaten Simalungun; 3)Doloksanggul, Muara, Lintongnihuta and Siborong-borong of Kabupaten Tapanuli Utara; 4)Merek di Kabupaten Karo; dan 5)Sumbul di Kabupaten Dairi.
Kegiatan kepariwisataan
Cekungan Danau Toba memberikan suatu kontribusi cukup besar dalam pengembangan ekonomi lokal, daerah, maupun ekonomi nasional. Keindahan alam dan kesempurnaan budaya Batak telah menimbulkan kegiatan pariwisata yang menyediakan manfaat ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Letak geografis Danau Toba yang unik memiliki sejumlah potensi ekonomi yang dapat digunakan untuk kepentingan luas masyarakat, terutama sebagai sumber air bersih yang besar, dan hutan tropis yang dapat menarik minat dari investor untuk menanam modal di daerah ini bagi pengembangan kepariwisataan yang ramah lingkungan.
Dari segi estetika, daya pikat Danau Toba terdapat dalam kecantikan alamnya yang sangat terkenal di dunia internasional. Dari sudut manapun danau tersebut menggiurkan dan dapat membuat setiap pendatang seperti yang sedang dibuai oleh perasaan sangat gembira. Kecantikan dari tiap sudut Danau Toba, dengan bukit hijau yang merias Pergunungan Bukit Barisan yang diselimuti dengan air terjun yang menghiasinya membuat wisatawan yang datang ke kawasan Toba dapat menyaksikan atraksi alam yang sangat agung. Pulau Samosir dan garis pantai Danau Toba menjadi pusat kelahiran Budaya Toba Batak dan rumah peninggalan budaya dan historis yang tidak ternilai harganya. Di tempat ini, budaya Batak masih kental dan tersaji dalam bentuk aslinya. Modernisasi telah menyebabkan migrasi penduduk dan saat ini ada banyak penduduk Batak yang tinggal di luar daerah itu dibanding yang tinggal di sekitar tempat itu atau di sekitar Danau Toba. Meskipun demikian, kota asal ini tetap merupakan identitas mereka sebagai Batak kendati mereka tinggal di tempat jauh sekali. Total penduduk dari lima daerah wisata utama Danau Toba terdiri dari Tomok/ Simanindo, Balige, Porsea, Ajibata dan Parapat adalah 102,477 orang atau 17% dari jumlah penduduk seluruhnya yang tinggal di batas perairan Danau Toba. Kegiatan pariwisata di sekitar kawasan Danau Toba, telah mendorong pengembangan 168 hotel, dari yang tradisional/Batak home-stay sampai hotel bintang empat.
Keunikan geofisik dan sejarah terbentuknya Danau Toba sebagai daya tarik geowisata
Geologi Danau Toba telah menjadi suatu topik yang menarik untuk dipelajari. Secara geologi, pembentukan danau ini merupakan hasil suatu aktivitas volkanik besar sepanjang zaman Kuarter atau dua setengah juta tahun yang lalu. Perlu diketahui bahwa bagian barat Pulau Sumatera merupakan sistem busur vulkanik yang memanjang dari Aceh hingga di Teluk Lampung. Busur vulkanik tersebut terbentuk oleh tumbukan dua lempeng besar yang dimulai sejak Jaman Eosen atau 65 juta tahun yang lalu. Lempeng ini adalah lempeng samudera India atau Lempeng Australia di barat-daya dan Lempeng Eurasia yang terletak di timur-laut (Gambar 2). Tumbukan lempeng ini membentuk suatu zone subduksi yang panjang dengan suatu rangkaian gunungapi sepanjang Sumatra-Jawa-Nusa Tenggara sampai ke Kepulauan Maluku. Di Sumatra mengakibatkan terbentuknya suatu patahan geser besar (transform fault) yang disebut dengan Zone Patahan Besar Sumatra ( SFZ= Sumatra Great Fault Zone). Patahan ini memiliki ukuran panjang 1700 km, tersingkap dari Teluk Lampung di bagian Selatan hingga daerah Aceh di ujung utara Pulau Sumatra. Danau Toba terletak di bagian timur laut dari zone Patahan Sumatra (Gambar 3 dan Gambar 4). Sedangkan sungai Batang Toru dan Sungai Renun terletak di sepanjang patahan itu.
Dua penjelasan ilmiah yang utama mengenai sejarah geologi Danau Toba diterangkan sebagai: (a)produk satu ledakan dahsyat; atau (b)produk gabungan dari berbagai peristiwa erupsi gunungapi. Kedua hipotesis ini dibagi lagi menjadi beberapa pendapat yang lebih kecil dan penjelasan yang lebih detail. Ada perdebatan yang sengit mengenai penentuan waktu terjadinya peristiwa geologi ini, apakah kejadian itu terjadi baru-baru ini (kurang dari 75.000 tahun yang lalu) atau merupakan hasil satu rangkaian yang menyangkut proses geologi antara lain proses pembentukan kubah (up-doming), peledakan, pensesaran, sedimentasi, dan up-wrapping yang yang terjadi sejak dua juta tahun yang lalu. Keunikan geofisik dan Danau Toba adalah landsekap yang terbentuk dari erupsi super kuat, sehingga membentuk kaldera Danau Toba tersebut. Keunikan inilah yang menjadi dasar minat seseorang mengunjungi dan berpetualang di kawasan Danau Toba.
Caldera yang berukuran (30 hingga 100 km) dan mempunyai relief dengan ketinggian hingga mencapai 1.700 m. Kaldera ini dibentuk dalam beberapa periode letusan. Letusan besar terjadi 840.000, sekitar 700.000, dan 75.000 tahun yang lalu. Letusan 75.000 tahun yang lalu memproduksi endapan Toba Muda dengan kandungan tuf (abu vulkanik berukuran sangat halus) yang tinggi.
Letusan Toba, yang diperkirakan terjadi 73.000 ± 4000 tahun yang lalu, menjadi letusan terakhir dan terbaru sebagai “supervolcano”. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University menyimpulkan bahwa total jumlah material dari letusan adalah sekitar 2800 km3; dengan 800km3
ignimbrite yang mengalir di dataran dan di 2.000km3 itu jatuh sebagai abu yang diterbangkan oleh angin yang bertiup ke arah barat. Letusan yang sangat besar itu mungkin bertahan hampir dua minggu. Hanya sedikit binatang dan tumbuhan di Indonesia yang selamat, dan mungkin letusan menyebabkan suatu bagian yang luas dari kehidupan planet mati satu per satu. Ada beberapa bukti, berdasar pada mitochondrial DNA, bahwa ras manusia berkurang menjadi hanya beberapa ribu individu akibat letusan Toba. Suatu area besar yang anjlok setelah letusan akibat dimuntahkannya material letusan (material vulkanik) dalam volumen yang sangat besar dan kuat, kemudia membentuk suatu kaldera, yang terisi dengan air yang membentuk Danau Toba. Kemudian, dasar dari kaldera terangkat membentuk Samosir, suatu pulau besar di dalam danau. Pengangkatan seperti itu sering terjadi pada kaldera yang sangat besar, hal tersebut terjadi akibat tekanan keatas oleh magma. Toba merupakan caldera yang terbesar yang terbentuk di atas permukaan bumi ini (Yokohama dan Hehanusa, 1981).
Menurut Knight et.al. (1986), Pulau Samosir dan Semenanjung Uluan adalah bagian-bagian dari satu atau dua kubah yang terbentuk kembali. Endapan danau di Pulau Samosir menunjukkan telah terjadi pengangkatan, kurang lebih mencapai 450 m. Pusukbukit, merupakan suatu stratovolcano kecil sepanjang garis tepi barat dari kaldera Toba, terbentuk setelah letusan 75,000 tahun yang lalu (Gambar 5). Terdapat juga solfatara yang masih aktif pada sisi utara dari gunungapi.
Setelah terjadi letusan 74.000 tahun yang lalu, mulai terbentuk kubah (dome) di dalam kaldera yang luas yaitu sebagai proses pembentukan Pulau Samosir dengan ketinggian 750 m di atas muka air Danau Toba. Endapan Tuff Toba yang muda, diperkirakan memiliki volume 2.800 kilometer kubik (km3) dan meletus sekitar 74.000 tahun yang lalu. Sebagai perbandingan letusan yang terjadi di Gunungapi Yellowstone sekitar 2.2 juta tahun yang lalu, meletuskan volume piroklastik hingga 2.500 km kubik. Volume piroklastik dari letusan termuda tersebut, menjadi letusan yang paling besar dalam seperempat abad terakhir. Aliran piroklastik menutupi suatu area sedikitnya 20.000 km2. Ketebalan endapan Tuff Muda Toba yang terdapat pada dinding kaldera mencapai ketinggian 400. Pada Pulau Samosir, endapan tuff tersebut mempunyai ketebalan hingga lebih dari 600 m. Debu volkanik menutup suatu area sedikitnya 4 juta km persegi (sekitar separuh ukuran benua Amerika Serikat). Debu volkanik juga ditemukan pada cekungan di Teluk Bengal dan di India, kurang lebih 300 miles Keunikan geofisik dan sejarah terbentuknya kaldera Danau Toba inilah yang dapat memunculkan apresiasi geowisata bagi siapa pun yang berkunjung ke kawasan Danau Toba. Kentalnya budaya Batak yan asli di kawasan Danau Toba ini juga dapat menimbulkan apresiasi wisatawan untuk melakukan proses pembelajaran budaya masyarakat Batak terhadap kondisi geofisik Danau Toba dari waktu ke waktu. ( 500 km) dari pulau ( 1,900 miles, 3100 km dari Toba).
Referensi
Knight, M. D., Walker, G. L., Ellwood, B. B. and Diehl, J. F. 1986. Stratigraphy, palaeomagnetism, and magnetic fabric of the Toba tuffs: constraints on sources and eruptive styles. Journal of Geophysical Research 91, 355-382.
Anonym, 1989, Danau Toba (Lake Toba), Data Book of World Lake Environments, Survey of the State of World Lakes, edited by Lake Biwa Research Instituite and International Lake Environment Committee, Otsu, Japan.
Anonym, 1990, A Study of the Decline in Water Level of Lake Toba, Indonesia, a report prepared by the Overseas Development Admonistration, UK for BPPT Teknologi, Jakarta
Bemmelen, R.W. van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. 1a., 732 p., Governmental Printing Office, the Hague, Netherlands.
Borre, Lisa, 2000, Feasibility Study for the Lake Toba Science and Education Center, for the Lake Toba Heritage Foundation, Jakarta, Indonesia.
Hehanussa, P.E., 1981, Sejarah Geologi Tufa Toba, dalam Seminar Bendungan Asahan, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Nontji, Anugerah, 1990, Review of the Limnology of Lake Toba, International Conference on Lake Toba, 1990, Jakarta.
Tjia, H.D. and Kusnaeny, K., 1976, An Early Quaternary Age of an Ignimbrite Layer, Lake Toba, Sumatera, Sains Malaysiana, 5, p.67-70, Kuala Lumpur.
Yokoyama, T. and Hehanussa, P.E., 1981, The Age of ‘Old Toba Tuffs’ and Some Problems on the Geohistory of Lake Toba, Sumatera, Indonesia, in Paleolimnology of Lake Biwa, Japan Pleitocene, Vol.9 p.177-186, Kyoto.
Zen, M.T. 1990, Inventory of the Toba Problems, presented at the International Toba Conference, Jakarta.
www.gefweb.org
www.geology.sdsu.edu
www.volcano.md.nodak.edu.
www.volcanolive.com
www.volcano.si.edu.
www.hsfindo.org
www.menlh.go.id
www.unesco.or.id
www.worldlakes.org
Sumber :http://rajo-rajomudo.blogspot.com/2010/11/toba-si-super-volcano.html


74.000 Tahun yang Lalu, Dunia Gelap Gulita Selama Enam Tahun

SITUS arkeologi baru yang cukup spektakuler, ditemukan para ahli geologi di selatan dan utara India. Di situs itu terungkap bagaimana orang bertahan hidup, sebelum dan sesudah letusan gunung berapi (supervolcano) Toba, 74.000 tahun yang lalu. Tim peneliti multidisiplin internasional, yang dipimpin oleh Dr. Michael Petraglia, mengungkapkan dalam suatu konferensi Pers di Oxford, Amerika Serikat tentang adanya bukti kehidupan di bawah timbunan abu Gunung Toba. Padahal sumber letusan berjarak 3.000 mil, dari sebaran abunya.


Selama tujuh tahun, para ahli dari Oxford University tersebut meneliti projek ekosistem di India, untuk mencari bukti adanya kehidupan, dan peralatan hidup yang mereka tinggalkan di padang yang gundul. Daerah dengan luas ribuan hektare ini hanya ditumbuhi sabana (padang rumput). Sementara, tulang belulang hewan berserakan. Tim menyimpulkan, daerah yang cukup luas ini ternyata ditutupi debu dari letusan gunung berapi purba.

Penyebaran debu gunung berapi itu sangat luas, ditemukan hampir di seluruh dunia. Berasal dari sebuah eruption supervolcano purba, yaitu Gunung Toba. Dugaan mengarah ke Gunung Toba, karena ditemukan bukti bentuk molekul debu vulkanik yang sama di 2100 titik. Sejak kaldera kawah yang kini jadi danau Toba di Indonesia, hingga 3.000 mil,dari sumber letusan.Bahkan yang cukup mengejutkan, ternyata penyebaran debu itu sampai terekam hingga ke Kutub Utara. Hal ini mengingatkan para ahli, betapa dahsyatnya letusan super gunung berapi Toba kala itu. Bukti bukti yang ditemukan, memperkuat dugaan, bahwa kekuatan letusan dan gelombang lautnya sempat memusnahkan kehidupan di Atlantis.

Meski para ahli masih mencari bentuk fosil manusia Atlantis secara definitif, ternyata populasi manusia yang hadir di India sebelum 74.000 tahun lalu, atau sekitar 15.000 tahun lebih awal berhasil ditemukan dalam beberapa bukti genetik. Wilayah penelitian sampling-nya diambil dalam skala luas, meliputi beberapa negara dengan skala penyebaran 12.000 mil dari titik letusan super gunung berapi Toba. ”Penelitian ini untuk mencari bukti, sampai sejauh mana manusia purba terhindar dari kepunahan pada saat letusan supervolcano Toba terjadi,” kata Dr. Michael Petraglia, senior Research Fellow di School of Archaeology Universitas Oxford.

Dari bukti lapangan diketahui alat-alat Palaeolithic tengah, ditemukan tepat sebelum dan sesudah letusan Toba. ”Hal ini menunjukkan, orang-orang yang selamat dari letusan berasal dari populasi ras yang sama,” kata Dr. Petraglia.

Para peneliti setuju dengan bukti lapangan bahwa nenek moyang manusia lainnya, seperti Neanderthal di Eropa dan makhluk berotak kecil Hobbit di Asia Tenggara, mampu bertahan hidup setelah Toba meletus. Beberapa ahli berspekulasi bahwa letusan gunung berapi Toba itu sangat dahsyat, hingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat parah.

Penelitian di India menunjukkan, sebuah mosaik ekologis tampak begitu jelas. Ada beberapa daerah yang relatif cepat, mengalami recovery setelah peristiwa vulkanik. Tetapi ada ribuan hektare lahan yang tidak bisa ditumbuhi tanaman keras hingga saat ini, yang hanya bisa ditumbuhi oleh jenis rerumputan gersang. Tim tidak menemukan banyak bukti tulang belulang di padang rumput itu, tetapi justru penemuan terbesar terdapat dalam kompleks gua ”Billasurgam Kurnool”, di Provinsi Andhara Pradesh. Namun yang menjadi keheranan para ahli, di padang rumput itu ditemukan bukti bahwa tanahnya mengandung debu gunung berapi bercampur radioaktif.

Debu radio aktif bercampur dengan debu gunung berapi itu, kini menjadi sebuah teka-teki yang cukup pelik. Apakah abu letusan itu mengandung radioaktif, atau memang ada letusan lain dari sebuah senjata yang mengandung radioaktif? Para peneliti juga menemukan sejumlah bukti lain yang mereka yakini deposit (timbunan fosil) berbagai kehidupan dari setidaknya 100.000 tahun yang lalu. Deposit ini mengandung kekayaan berbagai jenis tulang hewan, manusia, sapi liar, dan berbagai karnivora dan monyet purba. Para ahli juga mengidentifikasi, sejumlah tanaman yang diduga jadi bahan pokok makanan mereka. Gua-gua itu menghasilkan informasi penting, tentang upaya menyelamatkan diri dari letusan super gunung berapi Toba.

Berdasarkan studi dan bukti baru hasil analisis, carbon radio isotop yang tak terbantahkan dari para ahli menyatakan letusan super gunung berapi Toba di Pulau Sumatra terjadi sekitar 73.000 tahun yang lalu. Letusan itu menyemburkan debu sekitar 800 kilometer kubik abu ke atmosfer. Meninggalkan kawah (sekarang danau vulkanik terbesar di dunia), dengan panjang 100 kilometer dan lebar 35 kilometer. Penyebaran abu dari letusan ini telah ditemukan di India, Samudera Hindia, Teluk Bengala, dan Laut Cina Selatan bahkan terjebak di lapisan es Greenland, Kutub Utara.

Kata Stanley Ambrose , profesor antropologi Universitas Illinois, dan seorang kepala peneliti Studi-studi Kasus Baru, Profesor Martin A.J. Williams, dari University of Adelaide, Australia, letusan gunung berbelerang aerosol tersebut, sempat menutup radiasi matahari selama enam tahun. ”Jadi dunia saat itu, benar-benar gelap gulita, yang diduga berdampak pada sebagian dari mahluk hidup yang mati karena tidak ada sinar matahari,” ujarnya. Sebuah ’Instant Ice Age’ yang terdapat dalam inti es yang diambil di Greenland mengungkapkan, dampak letusan berlangsung sekitar 1.800 tahun hingga kembali ke seperti sekarang ini.

Selama zaman es instan ini, suhu turun hingga 16 derajat Celcius (28 derajat Fahrenheit).Begitu dinginnya udara,di beberapa daerah Indonesia juga tertutup salju. Prof. Williams menemukan lapisan abu Toba pertama kali di pusat India, pada 1980. Pada tim investigasi ini, ia juga bertidak sebagai pemimpin dan penanggung jawab penelitian.

Efek iklim Toba telah menjadi sumber kontroversi selama bertahun-tahun, seperti dampaknya terhadap populasi manusia dan ekosistem. Pada tahun 1998, Ambrose mengusulkan dalam Journal of Human Evolution bahwa efek dari letusan Toba dan Ice Age menjelaskan terjadinya penurunan drastis pada populasi manusia. Terutama pengaruh genetikanya, terlihat antara 50.000 dan 100.000 tahun kemudian. Kurangnya keragaman genetik di antara manusia yang hidup hari ini, menjadi suatu bukti bahwa selama periode itu ada sejumlah ras manusia yang punah.

”Selain itu, di muka bumi ini diduga telah terjadi kekeringan yang cukup panjang, hingga menunjukkan adanya penurunan suhu ekstrem,” kata Ambrose. Analisis isotop karbon pada sejumlah temuan, menunjukkan bahwa hutan tertutup di India tengah. Setelah letusan terjadi, muncul rumput sebagai tanaman pionir. Setidaknya mulai merambah, selama 1.000 tahun setelah letusan kemudian menjadi hutan. ”Ini adalah bukti jelas, bahwa Toba juga menyebabkan deforestasi di beberapa daerah tropis untuk waktu yang lama,” kata Ambrose.

Hasil penelitian lainnya, akan diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience 25 Mei 2010. Dari sejumlah letusan gunung berapi di dunia, ternyata letusan Gunung Tambora di Indonesia pada 1815 tercatat sebagai letusan terkuat kedua setelah Toba. Dalam letusan itu, Tambora melemparkan abu volcano hingga sejauh 70 km abunya ke udara.Gunung ini, menurut para ahli, adalah satu-satunya letusan supervolcano yang dikenal setelah letusan super gunung berapi Toba dalam sejarah modern. Menurut ukuran kekuatan, letusan tersebut 10 kali lebih kuat dari letusan Krakatau, dan 100 kali lebih kuat daripada Vesuvius atau Gunung St. Helens. ***

Tidak ada komentar: