Jumat, 09 Desember 2011

Cerpen Kejujuran Hati

-->
Pasar Kulon, ketika matahari tepat di atas kepala. Gadis itu meletakkan tampah yang dijunjungnya di emper sebuah kios. Tanpa memperdulikan orang-orang yang lalu lalang ia duduk berselonjor, mengipasi tubuhnya dengan ujung selendang kumal yang tersampir di bahunya.

Terik matahari yang menyengat membuat wajahnya serasa panas terbakar. Kerongkongannya pun haus bukan kepalang. Sekilas ia melirik penjual es cendol di seberang tempatnya duduk. Alangkah nikmatnya jika ia bisa minum barang segelas lalu mengulum sisa es batunya lama-lama hingga mencair dalam mulut.

Tapi untuk itu ia harus merelakan paling tidak dua ribu rupiah keluar dari kantongnya. Padahal ia sudah berjanji bahwa setiap sen uangnya akan dihemat agar bisa membawa Bapak ke rumah sakit.

Kasihan Bapak. Sudah hampir dua minggu laki-laki tercinta itu terbaring tanpa daya di tempat tidur. Dan dalam dua hari terakhir ini batuknya seakan tak mau berhenti.

Ia tak tahu penyakit apa yang membuat Bapak demikian menderita. Tapi Pak Mantri tua tetangga mereka menyarankan agar Bapak dibawa ke rumah sakit jika ingin secepatnya sembuh.

Rumah sakit? Yang segera terbayang begitu mendengar kata itu adalah sederetan angka rupiah yang sungguh jauh dari jangkauan. Dari mana mereka bias mendapatkannya sedangkan tumpuan harapan satu-satunya kini hanya Abangnya yang bekerja sebagai buruh lepas di sebuah pabrik dengan penghasilan pas-pasan.

Tak sadar gadis itu mendesah. Matanya menatap sedih bungkusan-bungkusan nasi kuning di atas tampah yang belum berkurang satupun sejak pagi tadi. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membantu meringankan beban Abangnya. Tapi sudah beberapa hari ini hasil jualannya jauh berkurang. Apalagi sejak dibuka warung nasi baru yang menyediakan segala jenis makanan dengan harga murah meriah. Para pedagang di pasar sekarang lebih suka makan di sana ketimbang membeli nasi kuningnya.

Sekali lagi gadis itu menghela nafas. Lupakan saja tentang es cendol. Di rumah nanti ia bisa minum bergelas-gelas air kendi untuk menghilangkan rasa hausnya. Gratis lagi.

Diangkatnya kembali tampah ke atas kepala lalu kembali berjalan mengitari pasar tanpa memperdulikan sengat matahari yang semakin terik. Semua ini demi kecintaannya pada Bapak.

****

Hampir pukul lima sore ketika gadis itu melangkah lambat meninggalkan pasar yang mulai sepi. Tinggal beberapa kios saja yang masih buka. Di sudut sebelah timur seorang penjual ikan tengah asyik menghitung keuntungannya. Ia tersenyum ketika gadis itu lewat di dekatnya.

"Laris daganganmu, Ti?" sapanya.

Gadis itu menggeleng lesu lalu kembali melangkah. Keletihan jelas membayang di wajahnya.

Angin sore meniupkan aroma tak sedap dari tumpukan sampah di belakang pasar. Langkah gadis itu tiba-tiba terhenti ketika matanya tertumbuk pada sebuah benda yang tergeletak begitu saja di tengah jalan. Ia membungkuk untuk melihat lebih jelas. Ternyata sebuah dompet kulit berwarna coklat yang kelihatan masih baru.

Perlahan tangannya bergerak meraih benda itu, membuka dan meneliti isinya. Seketika mulutnya ternganga. Matanya terbelalak menatap lembaran-lembaran uang kertas berwarna merah dalam dompet itu. Alangkah banyaknya. Belum pernah seumur hidup ia memegang uang sebegitu banyak.

Dengan hati bergemuruh ia menoleh sekelilingnya. Sepi. Hanya ada deretan kios-kios yang sudah tutup. Tak ada seorangpun yang melihatnya.

Untuk beberapa saat kebimbangan menyergapnya. Tapi ketika pikirannya melayang pada Bapak, seketika hatinya membulat. Anggap saja ini anugerah yang jatuh dari langit. Yang penting Bapak harus sembuh. Persetan dengan uang halal atau tidak.

Dirasakannya tangannya gemetar hebat ketika memasukkan dompet itu ke balik bajunya. Dirasakannya kakinya ikut gemetar ketika beranjak terburu-buru meninggalkan tempat itu. Di sepanjang jalan dirasakannya pula mata orang-orang seperti tertuju padanya dengan pandangan curiga. Seakan-akan mereka semua tahu apa yang telah dilakukannya.

Ia baru bisa merasa lega setelah akhirnya tiba di rumah. Sambil berusaha keras menenangkan nafasnya yang memburu, gadis itu menghampiri sesosok tubuh yang terbaring di balai-balai dengan mata terpejam. Agaknya Bapak sedang tidur.

"Bagaimana hari ini, Ti? Laku banyak?" seorang laki-laki muda tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.

Gadis itu menggeleng. "Tapi besok kita sudah bisa membawa Bapak ke rumah sakit," sambungnya cepat. Lalu ditariknya tangan Abangnya ke luar kamar.

"Aku baru dapat rejeki nomplok. Lihat ini!" dengan wajah berseri dikeluarkannya dompet dari balik bajunya. Diserahkannya pada Abangnya yang masih berdiri terheran-heran.

Laki-laki itu dengan cepat membuka dompet, memeriksanya sekilas, lalu sorot bingung di matanya berubah menjadi curiga.

„Dari mana kamu dapatkan ini?" tanyanya tajam.

Gadis yang dipanggil Ti itu diam sesaat. Lalu diceritakannya apa yang terjadi.

"Kalau begitu kita tak berhak atas uang ini," ujar Abangnya setelah ia selesai bercerita. "Lihat, ada kartu pengenal dalam dompet ini. Anggia Wiranata, Perumahan Bumi Hegar C12. Tentu ini pemiliknya."

"Abang bermaksud mengembalikan dompet ini?" gadis itu menatap ragu.

"Ya. Kenapa?"

"Uang dalam dompet ini cukup banyak. Kupikir… kupikir lebih baik kita gunakan untuk membawa Bapak ke rumah sakit."

"Ti ! Itu mencuri namanya."

"Abang juga ingin Bapak sembuh bukan?"

Si Abang mengangguk dan menghela nafas dalam. "Tapi tidak dengan jalan mencuri."

"Aku tidak mencuri. Aku menemukan dompet ini."

"Apa bedanya? Mengambil sesuatu yang sudah jelas bukan milik kita sama saja artinya dengan mencuri. Dosa, Ti."

"Aku tidak perduli," ujar si gadis keras kepala, "Yang kuinginkan saat ini hanyalah kesembuhan Bapak. Apapun caranya."

"Eling, Ti... Eling ! Ingat pada Tuhan." Si Abang mengguncang-guncang tubuh adiknya, "Apapun alasannya tak pantas kita melakukan perbuatan tercela seperti itu. Bukankah selama ini Bapak selalu mengajarkan pada kita agar selalu bersikap jujur?"

Gadis itu menggeleng. Matanya mulai merebak. "Aku hanya takut kehilangan Bapak, Bang. Kita harus segera membawa Bapak ke rumah sakit. Dan uang itu adalah satu-satunya jalan."

"Kau melupakan sesuatu agaknya, Ti. Kesembuhan itu datangnya dari Tuhan. Percuma saja kita bisa membawa Bapak ke rumah sakit selama Tuhan tidak berkenan memberinya kesembuhan."

"Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang ? Duduk di sini sambil menunggu datangnya mujizat, begitu?" suara si gadis makin meninggi.

"Aku tidak mengatakan begitu. Kita tentu akan membawa Bapak ke rumah sakit. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Tunggulah sampai minggu depan. Kuharap dalam waktu itu aku sudah bisa mengumpulkan uang yang cukup."

"Dan selama itu penyakit Bapak sudah menjadi semakin parah ? Tidak, Bang. Kalau harus menunggu sampai minggu depan aku khawatir akan terlambat. Bapak kelihatan sudah semakin payah. Aku… aku belum siap kalau kita harus menjadi yatim piatu sekarang…," tangis gadis itu pecah tanpa dapat ditahan.

Abangnya mendekat lalu meraih kepala adiknya lembut. Dibiarkannya air mata gadis itu tumpah membasahi bahunya.

Sesungguhnya ia sendiri tengah merasakan kegalauan yang amat sangat. Memang benar untuk mempertahankan sebuah prinsip terkadang dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Tapi jika yang harus dikorbankan adalah orang yang paling dikasihi.... O, rasanya sungguh berat dan teramat tak rela.

Perlahan ia mendesah. Matanya menatap kosong dinding-dinding bilik kusam yang mulai lapuk dimakan usia. Hanya satu hal yang masih ia yakini dan yang membuatnya tetap teguh hingga sekarang. Pertolongan Tuhan memang sering nampak lambat, tapi tak pernah sampai terlambat.

Diluar malam terus merambat. Gelap dan senyap. Senyap yang nyaris sempurna mencengkeram setiap penjuru. Tak ada suara apapun yang terdengar. Tidak juga suara binatang-binatang malam. Seakan seisi alam tengah larut dalam kedukaan.

Si gadis di pelukan Abangnya diam terpejam. Sementara bekas-bekas air mata mulai mengering di wajahnya. Lalu suasana hening terobek oleh suara panggilan lirih dari dalam kamar. Gadis itu melompat bangkit lalu menghambur masuk diikuti Abangnya.

Dalam kamar yang temaram oleh cahaya redup lampu teplok dilihatnya Bapak tersenyum dan menggapai.

"Bapak dengar semua percakapan kalian tadi. Dan Bapak sependapat dengan Abangmu."

"Tapi, Pak...," gadis itu mencoba membantah.

"Besok kuharap kau kembalikan dompet itu pada pemiliknya." Ada ketegasan dalam suara Bapak yang membuat gadis itu tak sanggup lagi berkata-kata.

Tak tahan direbahkannya kepala di dada Bapaknya. Air matanya kembali turun satu-satu.

Dirasakannya tangan Bapak membelai-belai rambutnya, lalu suaranya lembut berkata, "Kita memang miskin, Ti. Tapi kita bukan pencuri."

Dan air matanya semakin deras mengalir.

*****

Matahari bulan Juni memanggang terik. Pohon-pohon pelindung di sepanjang jalan seolah tak mampu lagi memberikan keteduhan pada para pejalan kaki. Ditambah suara bising kendaraan dan asap knalpot yang menyesakkan paru-paru, lengkaplah sudah kegerahan siang ini.

Gadis itu melangkah lambat. Sesekali tangannya bergerak menyeka peluh yang mengembun di dahinya. Masih beberapa ratus meter lagi sebelum sampai pada alamat yang dituju.

Dicobanya membayangkan sambutan pemilik rumah jika mengetahui maksud kedatangannya. Barangkali mereka akan menyambutnya dengan ramah lalu menanyakan keadaan dirinya. Ia akan menceritakan tentang Bapak yang sakit dan perlu segera berobat. Kemudian orang itu akan memberinya sejumlah uang sebagai balas jasa. Dan siapa tahu saja mereka bersedia membantu biaya pengobatan Bapak.

Ya, cerita seperti itu sudah sering dilihatnya dilayar televisi.

Gadis itu tersenyum. Kendati Bapak selalu berpesan agar melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan, tapi ia merasa tak ada salahnya berharap. Berpikir demikian, langkahnya tiba-tiba menjadi lebih ringan.

Rumah bernomor C12 itu ternyata cukup besar. Halamannya luas dengan pagar tinggi yang terkunci rapat. Dengan agak ragu gadis itu menekan bel. Sesaat kemudian didengarnya suara gonggongan nyaring dan dua ekor anjing besar melesat keluar. Gadis itu memekik ketakutan. Segera dijauhkannya tubuh dari pagar.

Seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh keluar. Keningnya langsung berkerut begitu melihat si gadis di luar pagar.

"Mau apa kamu?" tanyanya galak.

Untuk beberapa detik gadis itu tertegun mendapat sambutan yang sama sekali jauh dari harapan. "Saya... mencari nyonya Anggia. Be..benar ini rumahnya?" tanyanya tergagap-gagap.

Wanita setengah baya itu memandang si gadis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Nyonya sedang tidak ada," ujarnya masih dengan nada ketus, "Kamu siapa dan mau apa mencari Nyonya?"

Gadis itu mengulurkan sebuah dompet lewat jeruji pintu gerbang. "Saya menemukan dompet ini kemarin di pasar. Barangkali terjatuh waktu belanja."

Wanita itu sejenak meneliti dompet lalu kembali menatap si gadis. Masih terlintas sorot penuh curiga di matanya.

"Uang di dalamnya masih utuh," ujar si gadis cepat, "Nyonya Anggia boleh memeriksanya sendiri nanti."

"Baiklah. Nanti saya serahkan pada Nyonya. Sekarang lebih baik kamu cepat pergi. Saya masih banyak pekerjaan di dalam." Kemudian wanita itu berbalik masuk diikuti kedua anjingnya.

Gadis itu masih berdiri tertegun hingga beberapa menit. Wanita itu bahkan tak mengucapkan sepotongpun kata terima kasih. Inikah balasan untuk kejujuran yang diagung-agungkan Bapak dan Abangnya? Atau barangkali orang-orang berhati mulia memang hanya ada di televisi?

Dan ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa ketika kembali ke rumah dan mendapati Bapak tengah terbungkuk-bungkuk sambil memegangi dadanya. Sementara batuknya merejam seakan tak mau berhenti.

Tidak ada komentar: