Dear Nika,
Aku bertemu kamu bukan karena keinginanku. Kita bertemu karena Tuhan ingin kita bertemu. Jika kemudian aku amat dekat denganmu, itu pun bukan kebetulan. Semua sudah digariskan. Ya, kita digariskan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, kita semakin dekat. Kau membantuku mengurus segala hal yang ada dalam hidupku. Kau memberiku banyak benda yang berwarna. Gantungan pintu dengan namaku, buku dongeng untukku. Semua yang kau berikan membuatku selalu bahagia. Tanpa kita tahu, rasa yang ada di hati kita menjadi semakin lancang. Meminta lebih. Jika kemudian aku menginginkanmu, harusnya sudah kita duga.
Nika, namamu. Kau cantik, teramat cantik. Mungkin, jika Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih menakjubkan darimu, Ia akan menyimpan-Nya sendiri. Namamu sangat tepat disandingkan dengan parasmu yang cantik. Benar-benar sesuatu yang sempurna. Aku ingin menjadi berharga disisimu, itu yang ada dalam pikiranku. Tak kusangka, harapanku benar-benar terpenuhi. Aku tidak memikirkan, bahwa sejatinya Romeo dan Juliet tidak pernah menyatu. Aku lupa, bahwa kita berbeda.
Dalam kisah Shakespeare, Romeo dan Juliet tidak bisa bersatu hanya karena perseteruan keluarga mereka. Mereka terpaksa menjalin cinta sembunyi-sembunyi karena tidak mungkin mengumbar cinta di depan publik. Kita tidak separah itu karena keluarga kita tidak bertikai. Ibuku sangat menyayangimu bagai putrinya sendiri, begitu halnya dengan ibumu. Kau sering bertandang ke rumah keluarga kami dan berdiam disana berjam-jam karena kau begitu nyaman, menganggap rumahku juga rumahmu. Jika kita ingin berdua saja, kita akan berlarian ke depan rumah, naik ke rumah pohon dan berbagi apapun di sana. Tanpa ada orang lain yang tahu cerita apa yang telah kita bagi. Hanya kau, aku, dan Tuhan yang tahu.
Jauh dalam lubuk hatiku, aku mencintaimu, Nika. Aku pun tahu kau merasakan hal yang sama. Kita berdua saling membutuhkan. Kita saling melengkapi. Kau tidak marah jika aku ingin ikut melihat kau ke gereja, dan aku tidak keberatan saat kau mendengarkanku mengaji. Ya, ada banyak momen aku lupa kita berbeda. Namun ada kalanya aku sadar betul, ada teralis baja yang memisahkan hati kita.
Nika, aku tidak meminta Tuhan untuk menggantikanmu dengan siapapun. Yang aku tahu, ia datang. Indah datang dan hadir di antara kita. Ia sekeyakinan denganku, ia juga Cantik. Namun kau tahu, Nika ? Hatiku tidak sedikit pun tertarik padanya. Aku tahu aku hanya lengkap ketika bersamamu. Indah menjadi seseorang yang kemudian selalu hadir dalam kebersamaan kita. Aku menganggap Indah sebagai sahabat kita berdua. Meskipun aku tahu, Indah sahabatmu. Kamu yang membawanya ke tengah-tengah kita. Yang tak kemudian aku tahu adalah, Indah menginginkanku. Sama besar dengan kau menginginkanku, atau mungkin lebih besar lagi...
Indah selalu mencari celah saat kita berpisah. Ia berusaha lebih dekat denganku secara personal, tanpa kamu. Indah hanya sahabatmu, yang berarti juga sahabatku, Nika. Di lubuk hatimu aku hanya menginginkanmu, tidak orang lain. Sampai suatu hari, Indah memproklamirkan dirinya menjadi Wanita yang akan mendampingiku, yang akan menemani aku hingga aku tak mengenal lagi kesepian. Saat dia mengatakan itu, aku tersentak. Bukan bahagia, bukan pula sedih. Aku terkejut. Aku memikirkanmu, Nika...
Setelah kejadian itu, setiap malam aku memikirkan apa yang terjadi pada kita. Indah sudah mengatakan cinta, Aku ingin mengucapkan itu di depanmu. Genggam tanganmu, dan katakan "Aku mencintaimu". Namun kemudian ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Jika katakan cinta, bisakah kita bersama ? BISAKAH ? Kita berbeda, Nika. Keyakinan kita yang membuat kita berbeda.
Kadang aku berpikir, mengapa Tuhan membuat perbedaan di antara kita ? Jika agama begitu banyak, membuat manusia terkotak-kotak, bukankah cinta bisa dikatakan sebagai "agama" pemersatu semua agama ? Seperti kita yang berbeda dalam agama, namun kita satu dalam cinta.
Mengingat segala hal yang beda di antara kita. Tasbih dalam genggamanku, salib di lehermu. Kau idolakan Santo Fransiskus dari Asisi, idolaku Nabi Muhammad S.A.W. Kubayangkan, setiap Minggu kau berangkat ke gereja dengan senyum, siap mengucap Bapa Kami untuk Tuhan-mu. Dalam dinginnya pagi, aku bersujud memenuhi panggilan Tuhanku, merapal syahadat dan dzikir. Dia-lah satu yang kita sembah, Dia-lah satu yang kita rapal dalam doa kita, meski dalam nama yang berbeda.
Nika, sampai hari ini aku masih tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku bahagia melihatmu tersenyum, aku ingin segera terjaga demi melihatmu tertawa. Kau duniaku, Nika. Bisakah kita bersama ? Meskipun kita berbeda .........???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar